Pergilah kami dengan tekad dan doa meraih ilmu ke tanah seberang berpencar ke delapan penjuru mata angin. Satu, dua, tiga bahkan melebihi hitungan ke sepuluh tahun tak satupun di antara kami yang menyatu untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu. Walaupun tak terhitung lulusan SMA tempat kumenuntut ilmu kini menjadi ‘orang’, temanku saja sebagian telah menjadi IT handal, ahli gas dan mineral, manajemen dan akuntasi cemerlang, bankir, pebisnis ulung, dokter, banyak juga yang memegang peran penting di Pemerintahan Kota, Kabupaten di daerah lain, aku turut bangga setidaknya mereka orang Dabo, pernahlah makan, minimal tahulah UPTS bukan Unit Penambangan Timah Singkep tapi Ulam Petai Tamban Salai.
Seandainya mereka berkumpul lagi di Dabo dan apa yang menjadi kebutuhan mereka untuk kelancaran dan kemajuan Dabo difasilitasi oleh pemerintah setempat bukan tidak mungkin mimpi kami selama ini terwujud menjadi kenyataan.
Namun tetap saja jauh panggang dari api, berharap untuk menjadi Ibukota Kabupaten saja tidak berhasil (kalau tidak mau dikatakan tidak mampu). Sedih memang, saat kembali di Dabo bingung mau melakukan apa, di satu sisi ingin merangkai mimpi, sementara di sisi lain butuh hidup yang lebih baik. Apalah yang bisa dilakukan anak-anak pulau ini, karena memang beranjak dari Nol alias tak bermodal.
Sekarang satu lagi generasi turunan orang-orang Dabo yang ‘berilmu’ lebih, angkatan adikku yang bungsu di Kota Gudeg, Yogya dan teman-temannya yang berada di kota lain tahun ini insyaallah menyelesaikan S1 mereka. Dialah satu-satunya anggota keluarga yang mengenyam bangku kuliah. Mengingatkan aku kembali pada belasan tahun yang lalu, ketika telah menyelesaikan pendidikan di Yogya juga walaupun tidak setara dengan kuliah karena faktor ekonomi tapi aku bersyukur bisa mengenal kota ini. Kota yang mengajarkan hidup mandiri, berani menantang masa depan, jauh dari orang tua, belajar bagaimana mengatur uang bulanan biar pas sampai akhir bulan sampai dengan menghadapi orang-orang yang memiliki sejuta kepribadian yang berbeda. Permasalahan yang membingungkan justru bukan menghadapi itu semua tapi masalah datang saat semua telah selesai, mau kemana mengatur langkah untuk menyongsong masa depan? Membangun kembali Tanah kelahiran ? Mungkin inilah dilema yang sedang dialaminya? Ingin membangun tapi harus melihat realitas keadaan Dabo. Menjadi pegawai negeri pun, beberapa instansi berada Daik, Lingga yang notabenenya lebih lengkap sarana dan prasarananya di Dabo.
Mari kita pikirkan Apa yang bisa kita berdayakan menjadi komiditi yang nantinya akan berdampak untuk kesejahteraan masyarakat segala lapisan, bukan hanya memperkaya segelintir orang, oknum pejabat atau oknum aparat yang bersembunyi di balik eksploitasi SDA Dabo, setidaknya ada yang dikenal dari Kota ini pasca STQ Tingkat Propinsi beberapa waktu silam.
Ahh…Hari kebangkitan nasional telah melalui tahun ke-101, kami masih saja bermimpi Merindukan Dabo bangkit. Naseb…Naseb…
Seandainya mereka berkumpul lagi di Dabo dan apa yang menjadi kebutuhan mereka untuk kelancaran dan kemajuan Dabo difasilitasi oleh pemerintah setempat bukan tidak mungkin mimpi kami selama ini terwujud menjadi kenyataan.
Namun tetap saja jauh panggang dari api, berharap untuk menjadi Ibukota Kabupaten saja tidak berhasil (kalau tidak mau dikatakan tidak mampu). Sedih memang, saat kembali di Dabo bingung mau melakukan apa, di satu sisi ingin merangkai mimpi, sementara di sisi lain butuh hidup yang lebih baik. Apalah yang bisa dilakukan anak-anak pulau ini, karena memang beranjak dari Nol alias tak bermodal.
Sekarang satu lagi generasi turunan orang-orang Dabo yang ‘berilmu’ lebih, angkatan adikku yang bungsu di Kota Gudeg, Yogya dan teman-temannya yang berada di kota lain tahun ini insyaallah menyelesaikan S1 mereka. Dialah satu-satunya anggota keluarga yang mengenyam bangku kuliah. Mengingatkan aku kembali pada belasan tahun yang lalu, ketika telah menyelesaikan pendidikan di Yogya juga walaupun tidak setara dengan kuliah karena faktor ekonomi tapi aku bersyukur bisa mengenal kota ini. Kota yang mengajarkan hidup mandiri, berani menantang masa depan, jauh dari orang tua, belajar bagaimana mengatur uang bulanan biar pas sampai akhir bulan sampai dengan menghadapi orang-orang yang memiliki sejuta kepribadian yang berbeda. Permasalahan yang membingungkan justru bukan menghadapi itu semua tapi masalah datang saat semua telah selesai, mau kemana mengatur langkah untuk menyongsong masa depan? Membangun kembali Tanah kelahiran ? Mungkin inilah dilema yang sedang dialaminya? Ingin membangun tapi harus melihat realitas keadaan Dabo. Menjadi pegawai negeri pun, beberapa instansi berada Daik, Lingga yang notabenenya lebih lengkap sarana dan prasarananya di Dabo.
Mari kita pikirkan Apa yang bisa kita berdayakan menjadi komiditi yang nantinya akan berdampak untuk kesejahteraan masyarakat segala lapisan, bukan hanya memperkaya segelintir orang, oknum pejabat atau oknum aparat yang bersembunyi di balik eksploitasi SDA Dabo, setidaknya ada yang dikenal dari Kota ini pasca STQ Tingkat Propinsi beberapa waktu silam.
Ahh…Hari kebangkitan nasional telah melalui tahun ke-101, kami masih saja bermimpi Merindukan Dabo bangkit. Naseb…Naseb…
1 comments:
Assalamualaikum. nice to find this great site.
Post a Comment