Sabtu (27/09), Hari kedua launching filmnya aku nonton juga. Laskar Pelangi. Tulisan ini bukan tentang sinopsis Laskar Pelangi tapi Film memberi arti tersendiri bagi aku, ya, film based on novel karya Andrea Hirata ini benar-benar mengingatkanku dengan kampong halaman, Dabo Singkep.
Dulu, siapa yang tidak kenal dengan pulau ini, seluruh indonesia sampai dunia pun kenal pulau penghasil bijih Timah selain Pulau Bangka dan Belitung, dari zaman belanda sampai akhirnya PT. Timah tutup (1812-1992). Seratus tahun lebih kejayaan pulau ini berakhir, apa yang didapat pulau ini setelah 'dijajah', hanya 'kolong-kolong' (semacam genangan air besar, bekas penggalian timah) dimana-mana. Masyarakat yang sebelumnya dininabobokkan dengan kesejahteraan perlahan hilang laksana harapan yang semu. Aktivitas pulau ini pun menurun, bagaikan sleepy island. Miris. Bagaimana tidak daerah yang tidak ada menghasilkan apa-apa justru lebih maju dibandingkan dengan Dabo. Infrastrukturnya pun banyak yang tidak aktif.
Dari setting latar, bahasa sampai keadaan penduduk di film Laskar Pelangi, memiliki kemiripan dengan Dabo . Dabo yang memiliki panorama keindahan alam yang indah. Sumber air panas, Batu Ampar dan Batu Berdaun, di antara objek wisata yang patut dikembangkan oleh Dinas Pariwisata setempat.
Apa yang penonton lain rasakan mungkin berbeda dengan aku rasakan. Masa kecil di Dabo dan Prayun seakan teringat kembali di film itu. Bagaimana ekspoitasi sumber daya alam tanpa memikirkan masyarakat tempatan membawa dampak yang buruk.
Semoga tidak ada lagi daerah-daerah penghasil tambang yang menjadi terpuruk setelah hasil tambangnya dikeruk tanpa ampun. Pemerintah pusat harus memperhatikan sektor pendidikan dan kesehatan masyarakat tempatan.
Dulu, siapa yang tidak kenal dengan pulau ini, seluruh indonesia sampai dunia pun kenal pulau penghasil bijih Timah selain Pulau Bangka dan Belitung, dari zaman belanda sampai akhirnya PT. Timah tutup (1812-1992). Seratus tahun lebih kejayaan pulau ini berakhir, apa yang didapat pulau ini setelah 'dijajah', hanya 'kolong-kolong' (semacam genangan air besar, bekas penggalian timah) dimana-mana. Masyarakat yang sebelumnya dininabobokkan dengan kesejahteraan perlahan hilang laksana harapan yang semu. Aktivitas pulau ini pun menurun, bagaikan sleepy island. Miris. Bagaimana tidak daerah yang tidak ada menghasilkan apa-apa justru lebih maju dibandingkan dengan Dabo. Infrastrukturnya pun banyak yang tidak aktif.
Dari setting latar, bahasa sampai keadaan penduduk di film Laskar Pelangi, memiliki kemiripan dengan Dabo . Dabo yang memiliki panorama keindahan alam yang indah. Sumber air panas, Batu Ampar dan Batu Berdaun, di antara objek wisata yang patut dikembangkan oleh Dinas Pariwisata setempat.
Apa yang penonton lain rasakan mungkin berbeda dengan aku rasakan. Masa kecil di Dabo dan Prayun seakan teringat kembali di film itu. Bagaimana ekspoitasi sumber daya alam tanpa memikirkan masyarakat tempatan membawa dampak yang buruk.
Semoga tidak ada lagi daerah-daerah penghasil tambang yang menjadi terpuruk setelah hasil tambangnya dikeruk tanpa ampun. Pemerintah pusat harus memperhatikan sektor pendidikan dan kesehatan masyarakat tempatan.